Jumat, 22 Mei 2020

Bongkok vs hard immunity dalam menyikapi covid 19


     Bongkok begitulah orang Jawa menyebutnya. Ia adalah dahan dari pohon kelapa yang sudah tua dan biasanya jatuh dengan sendirinya.
     Beberapa waktu yang lalu saya melihat di medsos, di pendopo dipajang bongkok yang dilukis tetek melek. Selang beberapa hari kemudian tatkala lewat di sebelah utara pom bensin Panjerejo , di pinggir jalan berjajar rapi bongkok tetek melek empunya si penjual. Dalam batin saya hari gini kok masih ada ya yang jualan seperti itu. Apa itu tidak bentuk dinamisme? Batin saya. Berlanjut di lain hari di sekitaran sekolah saya tatakala turba ke calon wali murid ternyata di desa tersebut banyak juga  yang pasang bongkok tetek melek. Saya jadi heran ternyata di desa ini masih primitif juga. Padahal di desa saya , saya belum menjumpai , hanya satu yang saya tahu itupun bukan tetek melek , tapi barongan.
     Di saat seperti ini , masa pandemi covid 19, bermunculan penyikapan penyikapan baik secara budaya ataupun agama. Secara agama sering atau  hampir setiap saat dilantunkan pujian li khomsatun sebagai bentuk wasilah . juga Solawat thibbil qulub, Doa qunut nazilah dan sebagainya. 
     Kembali secara budaya, kita yang di Jawa tak terlepas dari budaya simbol, dikenal dengan  sengkala. Dalam masa pagebluk diwujudkan dengan bongkok , yang bermakna pasrah bongkokan. Totalitas berserah diri kepada yang maha kuasa. Tetek  bermaksud teteg atau tangguh, dan melek senantiasa terjaga atau waspada , tidak lengah.  Entah sejak kapan simbol bongkok dimulai. Mungkin sejak zaman antah brantah, santer diceritakan bila pagi sakit sore meninggal pun sebaliknya sorenya sakit paginya.  meninggal. Istilahnya Jawanya pagebluk. Maka karena sudah di ujung usaha manusia maka diciptakannya simbol bongkok tetek melek. Bongkok pun dilukis dengan gambar yang  seram tetek melek , supaya manusia tidak menganggap enteng pagebluk. simbol ini sebenarnya ditujukan bukan hanya untuk keluarga tapi juga  para tamu, Secara sadar diri untuk berusaha mensucikan diri, wicik. Disediakanlah gentong gentong ditiap rumah. Ketika masuk rumah mau dak mau harus bersuci. Itulah kearifan Jawa. Maka tidak heran bila di makam makam wali atau keraton Yogya Solo di area makam tersedia Gentong gentong untuk maksud menghilangkan sawan bahasa Jawanya atau istilah modernnya virus bakteri yang kasat mata.Oleh karena itu orang orang tua dulu bila habis ziarah makam selalu menganjurkan  sebelum masuk rumah harus bilas kaki dan tangan.
     Zaman terus berubah, simbol bongkok mulai ditinggalkan, karena mungkin bagi sebagian orang dianggap syirik. Hal ini bisa jadi bila dimaknai bahwa sebongkah bongkok ini dipercayai dapat tolak balak. Semua tergantung akan kepercayaan dalam hati. Dalam Islam jelas bahwa semua benda adalah makluk Allah, ia tidak dapat memmberikan manfaat( menolong) ataupun mudorrot  ( mendatangkan mara bahaya ) kecuali telah mendapat izin Nya karena semua makhluk tunduk padanya. Oleh karena itu kita harus menguraikan  filosofi yang dikandungnya agar kita tidak ikut ikutan tanpa tahu maksud dan hakekatnya. Manusia modern lebih mementingkan akalnya. Mereka percaya bahwa virus covid karena sampai detik ini belum ada vaksinya maka hanya dapat dilawan dengan imun tubuh yang kuat( hard immunity) 
    Pandemi covid 19 menciptakan sejarah yang mengacaukan sendi sendi kehidupan manusia modern, baik dalam bidang politik, ekonomi sosial dan budaya serta pertahanan keamanan. Roda kehidupan seakan harus berhenti entah harus berapa lama. Mampukah ?
     Skenario terakhir  menyatakan bila wabah ini tidak cepat berakhir maka akan berlaku seleksi alamiah yang kuat hard immunity nya bagus akan bisa bertahan sebaliknya, yang tidak bagus maka akan tersingkir, meninggal. Maka lahirlah perdaban baru , manusia baru yang tahan terhadap wabah. Wallohu a'lam.

3 komentar:

  1. Bongkoknya di pake cetik Geni aja

    BalasHapus
  2. Syirik atau tidak itu persoalan akidah. Buat kita yang terdidik ilmu agama, tentu lebih baik dihindari.

    BalasHapus
  3. Baru tahu, ternyata itu dari bongkok. Matursuwun bapak...telah menjelaskan dengan tetang benderang ichwal tetek melek ini. Menurut saya pribadi... bagi pegiat literasi hal seperti ini justru menjadi bagian dari aset dan bahan menulis. Menarasikannya, memahamkan yang belum tahu, akhirnya memberi manfaat bagi pembacanya, saya contohnya. Kami sampaikan trimakasih.

    Berkaitan dg pro dan kontra nya, itu bagian dari indahnya dialektika agama dan budaya.

    BalasHapus